SATU
“kau adalah cinta pertama dan terakhirku….”
Jogja, April 2005
Aku tidak akan seterkejut ini jika petir menyambar di dekat telingaku. Duniaku seakan berhenti sesaat ketika Senja, teman satu jurusan di fakultas, menceritakan hal itu.
Sore itu langit pantai parangtritis berwarna kelabu. Tak banyak orang yang ada di sana menikmati pantainya yang indah namun menyimpan seribu peristiwa berbau mistis. Ini memang bukan akhir pekan.
Berdiri diam Jingga, sembari sesekali ekor matanya melirik Senja yang berdiri tak jauh darinya. Sesekali senyum mereka terkembang saat tatapan mereka bertemu. Pantai yang indah, dengan angin yang bertiup kencang, menerbangkan ekor jilbab merah muda Jingga.
“Indah sekali bukan?,” ucap Jingga
“Hu um..” sahut Senja, dengan tatapan tak lepas menatap pada ujung batas cakrawala
“Aku bahagia ada di sini, denganmu. Rasanya tak ingin kembali. Di sini saja”, “rasanya sulit sekali menerima kenyataan hidup, bahwa hidup akan mengantarkanku pada episode lain yang belum mampu aku terima”
“Apakah kau bahagia, Senja”, Tanya Jingga
Senja menghela nafas “bertemu denganmu dan bersamamu adalah saat yang paling membahagiakan dalam hidupku. Menemukan seseorang yang memiliki semua hal yang selama ini aku cari,” jawabnya.
“Benarkah?”, Tanya Jingga lagi.
“Mmmmm…” jawab Senja
“Bisakah aku tetap bersamamu?”
***
Pekerjaan yang menumpuk di hadapan Jingga ia biarkan begitu saja. Ia terdiam dengan fikirannya yang mengembara. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, telpon dari rumah “ya, assalamu’alaikum,” jawab Jingga.
“Wa’alaikumussalam”, jawab suara di seberang sana
“Ya, bu. Ada apa?”
“Ibu cuma mau ngingetin kamu, supaya nanti kamu tidak lupa pulang nanti mampir ke rumah budhe Ida, suruh ke datang ke rumah. Ibu mau membicarakan tentang aksesoris dan dekorasi pelaminan”
Perut Jingga terasa mulas, malas ia menjawab, dan segera menutup telpon.
Dunia yang ia pijak terasa bergetar. Jingga terhuyung berusaha menyeimbangkan diri agar tak ambruk jatuh. Duh, kepalaku, ada apa denganmu, ucap hati Jingga.
Perlahan ia raih ponsel yang belum sempat ia simpan kembali,
Aku ingin bertemu denganmu, malam ini!
Jari jemarinya dengan gemetar menekan tombol, pengiriman pesan.
Tak bisa. Aku ada janji bertemu kerabat malam ini. Aku pun ingin ketemu.
Tak lama pesan balasan ia terima.
Ada apa denganmu? Aku sungguh ingin bertemu denganmu. Aku sakit. Kepalaku pusing. Kau bilang tak akan membiarkanku menderita. Ah, Sudahlah, bagaimanapun bagiku kau tetaplah kakakku.
Ia kirim pesan terakhir itu dan mematikan ponselnya.
***
“Bawa aku pergi. Aku mohon. Kemana saja, aku tak peduli”, isak Jingga.
Senja terdiam dalam kebingungan. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Sesungguhnya ia pun ingin merengkuh sosok di depannya, memenuhi permintaannya. Tapi…
“Pulanglah…”, jawab Senja datar. Dengan menahan gemuruh hati yang tak menentu.
“Tapi..”
“Aku bilang pulang. Pulang!”, Senja menatap tajam Jingga.
“aku tak bisa!!”, teriaknya. “kau adalah cinta pertama dan terakhirku”
“Hadapilah hidupmu dan berbahagialah”, senja menjawab “Aku tak tahu harus bagaimana. Berjanjilah untuk hidup bahagia” ,lanjutnya, lalu beranjak menjauh
Langit malam terlihat kelam. Perlahan rintik air hujan menjelma menjadi hujan lebat, membasahi wajahnya dan mengaburkan pandangannya. Bercampur dengan air yang mengalir dari matanya. Langkahnya tertahan, duduk bersandar pada tembok beton. Sakit.
***
DUA,
Suasana begitu meriah dan tampak penuh suka cita. Bergiliran tamu undangan berdatangan, ikut merayakan kebahagiaan kedua mempelai. Benarkah?, suara hati Senja.
Sesaat lalu prosesi akad telah dilaksanakan dengan penuh suasana khidmat.
“Saaaahhhh……!!”
Jawaban saksi disertai dengungan haru tetamu dan keluarga yang memenuhi ruangan.
Ku lirik Senja dengan ekor mataku. Beku. Kuraih bahunya dan kutepuk-tepuk dengan perlahan, berusaha membagi energi.
Teringat pembicaraan panjang Rangga dan Senja malam itu.
“Dia akan baik-baik saja”, Rangga menatap Senja yang duduk terpaku.
“Aku menyayanginya, Ngga”, ucap Senja dengan wajah mengeras kaku. “aku tak akan membiarkan dia menderita”
“Lalu..?”
“Entahlah..” jawabnya. “ Aku ingin meraihnya, tapi rasanya ia semakin tak mampu ku raih. Tahukah kau bagaimana sedihnya aku melihatnya harus menjalani kehidupan yang diberikan padanya? Bisakah kau rasakan sakitnya hatiku saatnya melihatnya menangis?”
Rangga terdiam, “Lalu..?”
“Aku sungguh menyayanginya. Aku seperti menemukan sesuatu yang selama ini aku cari-cari. ia memiliki semua hal yang aku inginkan. Ia, benar-benar mirip denganku. Mengapa demikian rumit takdir? Tuhan mempertemukan aku dengan seseorang yang aku cari, tapi di saat itu waktuku semakin habis”
Rangga tak lagi mendengarkan kata-kata Senja. Angannya mengembara. Menjelajahi sebuah masa.
***
“Apakah aku tak layak dicintai?,” Tertunduk wajah Jingga. Menekuri alas kakinya. “Apakah benar aku tak layak dicintai?”
Di sampingnya Senja terpaku. Memandangi lalu lalang orang-orang yang berjalan dengan bergegas. Ia tengadahkan wajah dan mengusap-usap wajahnya dengan gelisah. Memandangi pohon beringin yang tumbuh dengan besar di atasnya, melindungi mereka dari sengatan garang lidah sang surya.
Terjebak pada sebuah labirin kebingungan. Tak tahu harus apa dan bagaimana. Senja menghela nafas dan menghembuskannya dengan keras.
kau adalah cinta pertama dan terakhirku….
Senja terjaga dari mimpinya. Butir-butir keringat membanjiri wajah dan tubuhnya. Perlahan ia meraih gelas di atas meja dan meneguknya hingga tak bersisa.
Kalimat itu, terus mendengung di kepalanya. Menghadirkan titik-titik embun di wajahnya. Menyeruak perih dan mengiris perasaannya.
Kenangan bersama Jingga menghantuinya. Tawanya, senyumannya, dan yang tak kan pernah ia lupakan adalah tangisannya.
Betapa bahagia saat mereka masih bersama. Tertawa riang menikmati udara pegunungan yang basah berhias deretan pohon pinus yang tegak menjulang. Masih jelas di kelopak matanya, kala hujan mulai turun rintik-rintik dan semakin menderas, dengan langkah gontai letih menahan sakit dari kaki-kaki yang terkilir, namun tawa riang tetap menghiasi mereka.
Mendengar tawanya. Merengkuh bahunya dan menghindarkannya dari kerumunan para pria. Mengusap dengan kekhawatiran wajah pucatnya kala suatu waktu ia mengajak Jingga mengunjungi tempat wisata dan menaiki wahana ekstrim yang ada di sana. Semuanya masih terasa. Menyiksa.
“Allah, betapa aku meyayanginya”, desis Senja.
Sesak.
***
TIGA,
Sleman, oktober 2004
Nanar Jingga menatap Rangga dengan penuh rasa tak percaya.
“Iya, kita sudah selesai. Aku bukanlah orang yang baik untukmu..”, Rangga menatap Jingga.
“Tapi aku mencintaimu, Ngga”, Tukas Jingga. “Kenapa kau tega sekali padaku? Kau hempaskan aku setelah kau buat aku mencintaimu!”
“Sudahlah. Aku bukan yang terbaik”, lanjut Rangga,
“Tahukah kau, kau adalah cinta pertamaku. Denganmu pertama kali aku merasakan cinta. Kau harus bertanggungjawab atas apa yang kurasakan”
“Lupakanlah..”
“Jangan mengatur perasaanku..!”
Rangga tersentak dari lamunannya ketika Senja bangkit dari duduknya dengan keras.
“Ayo!”, ujarnya
“Kemana?”, Tanya Rangga berusaha menjajari langkah Senja.
“Makan!”
Rangga tak lagi mengusiknya. Berjalan mereka mengikuti langkah kaki menjauh meninggalkan cakrawala yang kuning memerah jingga. Senja merapatkan jaketnya berusaha menghalau dinginnya angin mulai yang bertiup menerpa tubuhnya. Memandang jauh ke depan dengan langkah perlahan.
END
Wira Garden,
7 december 2009
*Begitu gampangnya lisan berkata kalimat yang sama. apakah kata hanya sebuah rangkaian huruf tanpa makna yang bisa dengan mudahnya diucapkan kapan saja dan pada siapa saja?
ah, mungkin beginilah hidup di dunia."
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar