
“Kotor, dek..”, suara itu mengeluh
“Masuk!”, suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih mirip perintah yang tak boleh dibantah
“Deeekk!!!”, kali ini terdengar agak berteriak berusaha menahan kesal.
“apa sih?”, sebuah suara menyahut. Terdengar asal jawab dan enggan. Sementara terdengar suara mengeong halus di sela-sela suara yang saling bersahutan itu
“Kasih makan aja, jangan dipegang-pegang”
“Ya ampuuunn. Lihat! Kucingnya masuk”, suara itu memberitahu, lebih tepatnya protes. “Jangan dipegang. Lihat tubuhnya kotor”
“Deeekk!!!!”, suara itu benar-benar berteriak sekarang.
Aku terus menyimak dialog itu dengan tetap memejamkan mata. Sepertinya ada seekor kucing yang dekil, menurut salah satu suara itu, yang jadi perdebatan dua suara tersebut. Suara yang satu menginginkan kucing itu sementara suara yang lain merasa jijik dengannya.
“ugh! Jijik aku. Ku hempaskan kucing ini nanti”
Waah, sudah statemen kriminal, nih. Gumam hatiku. Kalimat itu membawaku bergerak bangun menuju asal suara-suara itu. Aku tak menyukai kalimat itu, meski aku tahu itu hanyalah sebuah gertakan agar suara yang lain segera menyingkirkan kucing tersebut.
Aku tak menyukai kalimat itu bukan hanya karena aku begitu menyayangi makhluk Tuhan bernama kucing itu, namun karena kalimat tersebut sama sekali tak mendidik dan penuh dengan kekerasan.
Ku buka pintu dan mengamati yang terjadi. Sesosok tubuh kurus ceking sedang berkacak pinggang, sementara sesosok lain mondar mandir mengurusi kucing dekilnya. Ah, tidak terlalu dekil, menurutku.
Melihatku, sosok bocah kecil itu segera melepaskan kucing kecilnya keluar pintu dan menjauh
“Panca, sini!”, panggilku
Dengan agak takut-takut bocah itu mendekat. Seolah merasa ia akan dimarahi.
“Ambil kucingnya, terus mandiin”, lanjutku
seketika wajah itu berbinar sumringah.
Suara mengeong-ngeong kucing kecil itu terdengar melengking di pagi itu. Aku terkikik dalam gudang semediku mendengar suara panik bocah laki-laki itu mengejar kucingnya yang meronta untuk dimandikan.
Hihihihih, kesian sekali kau kucing kecil, pagi-pagi sudah dapat musibah, ucap hatiku dengan senyum.
“Lagi nyari apa? Kutunya?”, Tanya suara pemilik tubuh kurus itu. Tak terdengar jawaban, namun sepertinya menjawab dengan anggukan kepala.
“Sikatin giginya sekalian biar bersih!”
Kalimat kedua membuatku terkikik perlahan. Bagaimanapun seisi rumah ini menyukai kucing, meski dengan kadar yang berbeda-beda.
Beberapa saat kemudian suasana hening. Hanya tersisa ngeong-ngeong pilu si kucing kecil yang baru saja ditimpa musibah. Sepertinya acara pemandian telah selesai.
Perlahan aku beranjak keluar……….
“Bukan begitu caranya mendidik adik. Dia boleh melakukan hal yang dia suka bila itu baik. Kucing itu memang kotor menurutmu. Tapi tidak lantas kau boleh memerintah dia untuk membuangnya. Bayangkan perasaannya kala menemukan kucing itu hingga membawany pulang. Dia tak lantas harus membuangnya hanya karena kucing itu kotor dan dekil,” kupandangi sosok kurus itu.
“Ajari. Ajari cara merawatnya. Bagaimana agar bersih, perintahkan untuk dimandikan setiap kali terlihat kotor..”, ucapku panjang lebar pada sosok kurus itu,”
“Biarkan dia belajar sesuatu. Dia tak harus mengikuti apa yang kau suka dan menjauhi apa yang tak kau suka..”, lanjutku
“Intinya biarkan belajar dari apa yang dia lakukan. Dan ajari bila dia belum mengerti atau keliru”, ujarku kembali pada sang kakak.
Sementara bocah kecil itu nyengir riang, merasa menang.
“Apa nyengir-nyengir?”, aku menoleh padanya
“Bukan cuma kucing yang harus mandi biar bersih dan gak jorok bau. Kau juga harus mandi. Sana!”
Ia beranjak pergi. Mandi.
Ah, kadang aku merasa letih karena acap kali harus menjadi wasit di rumah ini. Melerai perdebatan demi perdebatan dan mengarahkannya menjadi dialog positif. Melerai pertengkaran yang tak jarang mulai menggunakan kekuatan dan aku fisik. Terkadang capek ketika harus terus berganti peran mulai dari jaksa, pengacara, hakim, guru, teman, wasit, dan peran-peran lainnya. Selalu butuh energy untuk menggiring penghuni rumah ini, bahkan untuk mengingatkan saat pelaksanaan shalat sekalipun harus selalu dikomandoi. Aku jadi mirip jam weker. Merasa seperti panglima yang memimpin pasukan yang seringkali bandel, tak mengerti apa-apa, brutal, atau bahkan tak peduli dengan perintah atau pun nasehat.
Namun sekesal semarah apapun, tak pernah mampu aku mengucapkan kalimat-kalimat umpatan pada mereka, karena sadar itu akan jadi pembenaran dan menjadi perilaku yang ditiru. Tak diajari saja mereka sudah jadi anak-anak yang pandai dan selalu mengumpat dengan nama-nama penghuni kebun binatang.
Tak sanggup tangan dan kaki melayang pada tubuh-tubuh kekar itu, bukan karena tak mampu, namun karena tak mau. Karena kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan-kekerasan baru.
Itulah sejenak cerita pagi. Sekelumit kisah dari banyak kisah-kisah lain tentang mereka yang menuntut banyak padaku. Menuntut ketegaran dan kekokohan, serta kesabaran tiada habis. Menuntut permainan peranan yang senantiasa berubah dalam tiap kisahnya. Seringkali keletihan tanpa sadar membuat lisanku berucap, kapankah mereka bisa kulepaskan. Kapankah mereka bisa berdiri tegak di atas kaki mereka sendiri dan tak menjadi beban. Aku selalu menunggu dengan sabar saat itu tiba, saat dimana aku akan bebas melangkah meninggalkan gudang semediku. Melangkah mengitari bumi yang indah dan mengelilingi jagad raya.
Dalam keletihan ku pejamkan mata, sesaat ku buka mata kembali, melirik jam pada ponsel yang tergeletak di atas kepalaku 06:47AM, “mmmm, masih ada waktu 3 jam untuk terlelap kembali”, gumamku sembari menutup mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar