Mei 05, 2010

I'm Not Women, Im a Man!

“Terusss!! Panjat teruuss yang tinggi ya!,”
Seorang laki-laki bersuara dengan berkacak pinggang dengan kepala mendongak ke atas pohon kelapa yang tumbuh di depan rumah itu. Beberapa wajah terlihat menahan tawa melihat wajah pucat sosok di atas pohon itu.
“teruuuss! Jangan turun lagi. Tidur di situ aja!”, lanjutnya dengan suara penuh tekanan.
Sementara sesosok remaja kelas 3 SMP nampak terdiam di atas pohon kelapa dalam kebingungan dan ketakutan antara tetap di atas atau turun perlahan.
“Nina, turun!,” tiba-tiba sesosok wanita menyeruak dari balik wajah-wajah yang terkekeh-kekeh. Wanita asing yang tak asing.
Perlahan remaja itu turun.


WHEN WAS CHILD


Malam semakin hening dan pekat. Beberapa cahaya terlihat mengintip dari sela-sela rumah. Dusun itu seperti tak ada pada malam hari. Semuanya menghitam. Tak ada penerangan di luar selain cahaya rembulan dan kerlip bintang di kejauhan, karena aliran listrik belum sampai ke dusun itu. Tak terlihat apalagi terdengar apapun kecuali suara jangkrik yang bernyanyi diselingi suara binatang malam lain. Terlihat samar dua bayangan berjalan menerobos jalan setapak yang basah. Tergesa langkah mereka seolah dikejar oleh iblis yang hendak mematahkan kaki mereka dan menarik tubuh mereka tenggelam ke dasar tanah.
“Ayo, Wak. Cepat!,” seru salah seorang diantara mereka.
“Sabarlah. Ini jugak Uwak sudah cepat,” jawab suara seorang lainnya. Nampak sebuah buntalan kain terayun-ayun bersama langkahnya yang tergesa.
Tak lama terlihat sebuah gubuk sederhana. Cahaya lampu kecil mengintip dari sela-sela dinding yang terbuat dari bambu yang dicacah.

Beberapa jam kemudian.
Terdengar lengking tangisan bayi memecah malam yang pekat itu. Rabu, pukul 22.30 waktu Indonesia pada bagian barat, dengan perkiraan masa yaitu 9985 hari yang lalu.

Kehidupan yang sederhana, tanpa ambisi dan keinginan melebihi batas kemampuan. Kanak-kanak. Namun seorang laki-laki muda terus mengajarinya bermimpi menggenggam dunia. Setiap malam perempuan yang terlahir 8 tahun lalu itu dihadapkan pada buku-buku yang berisi barisan angka, tulisan, hingga gambar-gambar. Tak ada bermain dalam kamus laki-laki muda itu buatnya.
Setiap malam ia akan menatapi buku-bukunya. Berpura-pura. Sembari mengamati laki-laki muda itu lengah. mengamati kapan ia akan beranjak dari kursinya. Tapi laki-laki itu tetap tegak duduk diam di atas kursinya dengan sebatang rokok yang mengepulkan asap tebal.

“pergi dulu. Yasinan!,”
Pada malam ke sekian laki-laki muda itu berucap. Kalimat singkat keramat yang selalu ditunggu bocah itu. Ia bersorak riang dalam hati. Asyiiik!, akhirnya bebas.
“belajar yang betul! Awas kalo gak belajar,” laki-laki itu berkata-kata dengan nada memperingatkan sebelum menghilang dari balik pintu kayu. Ia menjawab dengan anggukan, sementara itu sesosok tubuh wanita berbaring diam tak jauh darinya. Perlahan ia menutup bukunya. Tak lama ia berjingkat-jingkat menuju pintu dimana sosok laki-laki itu menghilang.

Berbaur dalam keramaian bersama anak-anak dusun lainnya.
“hom hila hompimpah,” teriak mereka bersama-sama. “Buang jaga!,” teriak kerumunan anak-anak itu serentak. Tak lama terlihatlah bocah-bocah yang berlarian di bawah sinar bulan menghindari bocah laki-laki bernama Buang itu, menghindari sentuhan tangannya yang berarti tertangkap.
“duukk!!,” terdengar benturan.
Sesosok tubuh mungil terpaku diam memegangi perutnya. Darah mengalir pelan dari sela-sela jari-jari yang menutupinya. Memandangi dengan nanar pohon yang baru saja berbenturan dengan tubuhnya. Nampak sebuah bagiannya meruncing. Sepertinya bagian itulah yang menghadirkan perih di perut Nina.

“Nina luka!...” teriak salah seorang bocah itu.
Mendengar itu bocah perempuan yang dipanggil dengan Nina itu segera berlari dengan menahan tangis dan juga perih yang berasal dari tubuhnya. Sesosok wajah dengan penuh amarah membayang di wajahnya. Dengan penuh ketakutan ia berlari menuju sebuah rumah di ujung dusun.

Bocah itu meringkuk di atas kasurnya. Darah itu sudah tak mengalir lagi. Sudah dibersihkan dan dibalut dengan bubuk kopi. Begitulah cara warga dusun mengobati luka. Tak ada kata rumah sakit apalagi dokter. Kalau pun mereka bersentuhan dengan fasilitas kesehatan, paling-paling mantri praktik yang datang sebulan sekali. Ia menutupi wajahnya menghindari tatapan laki-laki itu.


***
Buang, Sangkut, Topan, Leo, dan Dadang telah menunggunya diujung dusun. Beberapa orang anak laki-laki itu terlihat membawa golok.
“lame nian ngan ni (lama sekali kamu tuh),” gerutu Sangkut padanya
“Mang Burhan baru pergi ya, Nin?,’, ujar Leo. Nina menganggukkan kepala.

Beriringan mereka berjalan menuju hutan kecil tak jauh dari dusun mereka. Mereka memang suka sekali bermain ke hutan, mencari biji-biji buah karet yang biasa mereka adu, atau terkadang mencari buah-buahan hutan. Atau mereka akan pergi memasang perangkap ikan pada sebuah lengkungan bumi yang membentuk genangan air yang luas. Di sanalah sebagian besar penduduk dusun mandi dan mencuci. Sebelum senja mereka akan segera pulang, sebelum ayah Nina pulang dari kebun.
Semua anak-anak dusun segan dan takut pada ayah Nina. Bukan hanya karena terkenal dengan ketegasannya, namun juga karena ayah Nina adalah salah seorang pengurus masjid. Dusun mereka sangat menghormati mereka yang menjadi pengurus masjid, layaknya disebut petinggi dusun.

“Kemarin itu, aku diikat di tiang rumah,” bibir mungil Nina bercerita.
“Kenapa?,” Tanya mereka serentak.
“Gara-gara aku nginap di rumah Ugok dan Nyai, dan gak bilang-bilang,” Nina menyeringai sembari menebas-nebaskan golok di tangannya pada semak-semak di sepanjang jalan setapak yang mereka lalui. Ugok adalah sebutan bagi kakek dan Nyai adalah sebutan bagi nenek di dusun itu.
“ooo…”
Bibir-bibir mungil anak-anak itu terus berceloteh bergantian. Mengiringi tiap gerak mereka. Kadang mereka berlarian, berlomba yang tercepat. Kadang mereka berhenti pada sebuah kebun, manakala mata mereka menemukan buah-buahan yang tentu saja mereka curi, karena tumbuh di kebun yang ada pemiliknya.

Seperti itulah kehidupan anak-anak di dusun terpencil itu. Tak ada boneka, mobil-mobilan seri terbaru dengan remote controlnya, robot-robot keren yang gagah, apalagi sepeda. Anak-anak dusun hanya mengenal permainan kampung sederhana atau menjelajahi hutan, sungai, dan kebun sebagai sarana mereka bermain. Alam adalah mainan pemberian Tuhan untuk mereka.


***

I’M NOT WOMEN, IM A MAN!


Segerombolan anak-anak berseragam merah putih berkerumun di depan pintu masuk sebuah ruang kelas. Sebagian wajah terlihat pucat dan berkeringat seolah sedang menanti giliran untuk dihukum gantung. Terlihat satu persatu laki-laki dan wanita berdatangan dan masuk ke dalam ruangan tersebut.

Sebuah sekolah inpres yang berdiri di atas tanah dengan lapangan yang luasnya dua kali luas lapangan sepakbola. Sekolah itu memiliki 4 ruang kelas. Benar, 4 ruang. Setiap ruangan dipergunakan oleh dua kelas sekaligus. Kegiatan belajar dua kelas itu dipisahkan oleh sekat triplek yang membagi ruangan menjadi dua bagian. Satu ruangan sisa dipergunakan sebagai ruang kepala sekolah merangkap ruang guru dan perpustakaan. Sungguh bukan proses yang belajar yang maksimal. Tapi itulah potret pendidikan bagi warga dusun terpencil. Seadanya.

Seluruh aktifitas belajar mengajar dilakukan pada pagi hari, karena pada siang hingga sore hari sebagian guru beralih profesi sebagai petani. Begitu kenyataannya. Gaji yang diterima oleh pahlawan tanpa tanda jasa sekolah inpres di tempat terpencil itu tentu saja tak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka.

Sama seperti beberapa anak-anak lainnya. Wajah Nina ikut memucat. Hari itu pembagian raport. Hari keramat.

Suara adzan pertanda waktu shalat Isya memecah lamunan Nina. Melemparkannya kembali pada alam nyata. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal dan meremas-remas rambutnya yang cepak dengan gusar. Layar monitor computer berganti menjadi slide yang menampilkan gambar-gambar bergantian. Beranjak ia menuju kamar mandi. Berwudhu.


***
Wajah laki-laki itu tertegun memandang Nina. Bukan, tapi memandangi kepalanya. Tak ada yang terucap darinya, ia hanya diam tak berkata apa-apa. Namun puluhan tahun mengenalnya cukup membuat Nina mengerti apa yang tersimpan dalam diam laki-laki paruh baya itu. Ada sebuah tanya yang mengendap di benaknya, Kenapa?

18 tahun lalu,
“Waaa, bagusnya rambut anak abah. Potong dimana?,” tanyanya.
Nina terdiam. Tak berani menjawab karena ia tahu itu bukanlah pertanyaan apalagi pujian, namun bentuk sindiran. Nina terduduk pada pojok ruangan, menatap sang emak, seolah memohon bantuan.
“memangnya kenapa sih?,” terdengar suara si emak menjawab. Pun ia mengerti bahwa si abah bukan memuji namun tengah marah.
“gak kenapa-kenapa. Berarti aku ini tak punya anak perempuan ya. Anaknya laki-laki semua ternyata,” ucapnya lagi.

Ia beranjak. Mengganti pakaiannya dengan pakaian yang biasa ia pakai bekerja di kebun. Nina kecil tetap terdiam tak berani memandang wajahnya.
Hari itu, rambut panjang Nina kecil dipangkas. Sang emak yang memang agak risih dengan anak-anak yang berambut panjang membawa Nina ke Bibik Subay dan dipotonglah rambutnya. Abah dan Emak Nina memang memiliki pendapat yang berbeda tentang itu. Abahnya yang menyukai anaknya dengan rambut panjangnya dan menganggap bahwa perempuan itu identik dengan rambutnya.

Hal itu berbuntut panjang. Berhari-hari si Abah diam seribu bahasa. Nina kecil hanya bisa terdiam. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Apalagi melihat perbedaan pendapat orangtunya mengenai rambutnya. Nina bingung dan juga takut. Tapi toh tak ada yang bisa dilakukan.

Waktu berlalu. Ketika sang waktu berjalan dengan langkah tergesa. Mengganti menit menjadi jam, jam berubah menjelma menjadi hari. Kemudian bulan bertambah hingga tahun telah berlalu bersama waktu. September 2000, Nina kecil berevolusi.


***

Gemericik air hujan yang jatuh di atas asbes rumah terdengar merdu. Angan Nina mengembara jauh. Jari-jarinya mengetuk keyboard sementara tangan kirinya memainkan rambut pendeknya.
Tak ada yang ia fikirkan, namun kepalanya terasa penuh. Ada yang mengganggu fikiran Nina. Ada perasaan tak nyaman menyesaki ruang dadanya. Ada perasaan sedih yang menyelinap dan tak mampu terurai. Ia pandangi lagi barisan kalimat yang memenuhi layar monitornya. Formulir pendaftaran akademi kepolisian. Perlahan jarinya menggerakan kursor. Menutup semua jendela kerja yang terbuka. Dan mematikan komputernya.

Gelisah. Memejamkan mata dan menghilang ke negeri impian rasanya mungkin akan sedikit membantu melepaskan sejenak rasa tak nyaman yang menyesakinya.

Hening malam. Rintik hujan masih setia turun. Sudah bulan april, berarti musim hujan akan berganti dengan musim kemarau. Mulutnya bergerak berkomat-kamit, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut dari kaki hingga kepala. Sunyi.





_END_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar