”Kau memang pantas menyesal!!”
Tertegun ia memandangi layar pesan yang baru saja ia baca
-cluster 1-
Hening. Sile terdiam dalam rasa yang berkecamuk.
Teringat betapa dinginnya Insi saat ia menyapanya.
”Setelah semua terjadi, setelah sakit yang ku derita, setelah kau campakkan aku begitu saja. Rasanya ini memang pantas kau dapatkan. Pada awalnya Adib tak lebih sekedar teman buatku. Tapi kau campakkan aku yang memohon padamu. Dan pada akhirnya aku menerimanya”..
”aku tak mau kehilanganmu, Insi”, terbata Sile menjawab
”Sudah terlambat. Terlambat, Sil. Dan aku berterima kasih kau telah mencampakkanku. Kau benar, ia memang lebih baik daripadamu. Bersamamu, aku tak lebih perempuan tak berharga yang selalu memohon cintamu. Bersamamu aku merasa kerdil karena tak pernah kau tunjukkan perasaanmu”
Sile terpaku. Menyadari betapa dingin suara itu. Betapa angkuh suara yang dulu begitu hangat baginya.
”Kau tau, Sil. Berapa lama ku menunggumu, hingga asaku hilang dan hatiku mengeras?”
”Kau tau bagaimana sakitnya aku, eh?!!”, ucapnya lagi hampir berteriak
”Aku tak mau kehilanganmu, Insi”
”Entahlah. Jangan lagi mengharapkanku, agar kau bahagia. Selamat tinggal”
-cluster 2-
Betapa cemburu dan amarah telah membuatnya buta. Sile terpaku memandang celoteh riang gerombolan angsa yang berenang dalam kolam di hadapannya dengan fikiran buntu.
Menyesal.
”aarrrrrrrrrrrrrrrrrgggg!!!!!”
Masih teringat ia pada percakapan siang itu. Ketika Insi datang padanya bercerita.
”Kemarin Adib bilang pernah menyukaiku, dan sekarang ia meminta aku jadi adiknya”
Ku perhatikan Wajah Insi yang semakin lucu saat ia bercerita. Calon istriku.
....
...........
.......
Kepalaku memberat. Mulutku terkunci. Tak ada suara yang mampu hadir saat itu. Aku terjebak dalam labirin rasa. entah.
Perlahan timbunan amarah dan ketakutan yang selama ini selalu ku redam bangkit. Getir.
Ku masih belum bersuara. Hanya tatapan kosong dan hati yang perlahan terluka. Pedih.
Ku tahan tangis yang hendak pecah. Tidak!, Aku laki-laki, pantang buatku menangis.
”lalu, jawabanmu apa?”, tanyaku kemudian
”tidak kujawab”
- Cluster 3 -
Demi Tuhan. Aku benci ada orang lain yang menginginkan Insi sebagai orang terdekatnya. Tapi aku pun tak tega menghapus binar matanya. Insi memang terlahir sebagai anak tunggal. Tak ada figur kakak yang dikenalnya. Sedangkan aku, hingga saat ini tak mampu menjadi laki-laki yang bisa ia banggakan. Aku kaku, tak pandai berkata-kata, tak pandai mengungkap rasa. Bagiku, jika Insi bahagia, aku menerima.
Meski perlahan hatinya terluka, Sile tetap berusaha tersenyum di hadapan Insi. Melihat senyum hangatnya, Sile pun tersenyum.
Tapi tak mampu ia hindari, luka yang ia redam membuatnya beku. Perlahan ia mulai menjauhi Insi.
Tak ia pedulikan rengkuhan dan permohonan Insi agar ia tak beranjak pergi. Namun labirin hati Sile sungguh rumit. rasanya tak sederhana saat melihat Insi tertawa riang dalam canda bersama orang lain.
Hingga waktu berlalu. Tak pernah ia melupakan Insi. Baginya Insi adalah satu-satunya hal paling berharga.
Bayangan kenangan berkelebat. Senyuman Insi, tawanya, gerak lucunya. Semua mengikutinya kemana ia pergi. Betapa hebat cinta yang Insi tanamkan.
Perlahan Sile beranjak. Tegak ia tatap langit biru, mencari asa.
Takdir. Begitu rumit. Kehilangan adalah bagian hidup yang sangat berat. Ketika apa yang disayangi pergi dan tak lagi mampu digenggam
Entah bagaimana, tapi melebur dengan takdir dan mengikuti arus yang ditentukannya, mungkin lebih baik.
Satu persatu tapak kakinya melangkah, mengikuti garis takdir bersama kenangan di sampingnya.
sayup bait nada mengiringi langkahnya
Tuhan pasti kan menunjukkan Kebesaran dan KuasaNYA bagi hambaNYA yang sabar
Dan tak kenal putus asa....
Jangan menyerah...
tersenyum..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar