Aku beringsut. Berupaya terus berlindung dan bersembunyi dari tatapan garang matahari yang dapat menghancurkan tubuh legamku. Namun pohon-pohon tempatku bersembunyi terus bergerak ke sana ke mari karena dorongan tangan angin pada tubuhnya.
“aduh!” aku terpekik ketika lidah panas matahari menyelinap dari balik dahan, ranting, dan dedaunan, dan menjilat tubuhku.
Gerakan angin yang semakin kencang menggoyang tubuh pepohonan seolah menyemangati matahari untuk meraih tubuhku dan menghancurkannya menjadi serpihan kegelapan kecil.
Aku beringsut. Bergerak berupaya mengimbangi kemana arah gerakan pepohonan tempatku berlindung. Menghindari matahari yang ingin melumatku hingga habis.
“Hei! Angin, berhenti sejenak. Jangan kau goyang-goyang pohon ini. Biarkan aku beristirahat sejenak di sini hingga waktuku tiba,” ucapku pada angin yang terus saja menari-nari pada lengan dan jari jemari pohonan.
“tak bisa. Ini takdirku. Maafkan aku,” sahutnya.
Ku pandangi wajah letih temanku-temanku. Tapi keadaan mereka lebih baik. Rumah yang berdiri kokoh, gedung tinggi menjulang, mobil yang diam dalam parkiran, dan benda besar diam lainnya membuat mereka dapat berlindungan dengan tenang dari garangnya tangan-tangan sang surya. Ku lirik pula sebagian teman-temanku yang lain, yang tak jauh berbeda nasibnya denganku, si Legam yang berupaya berlindung di balik tubuh-tubuh manusia yang berjalan dengan tergesa, juga si hitam yang mengikuti benda atau siapa saja yang dapat melindunginya dari kejaran sang surya.
“hei, Gam. Cepat kemari,”, teriakku padanya “mumpung pak abu sedikit menutupi mata sang surya. Berlari ke sini. Cepat”
“kau terlalu jauh, Darky. Aku bisa hancur dan menghilang sebelum sampai di tempatmu”, sahut Hitam dengan berteriak pula. “kecuali…” lanjutnya
“kecuali..?”, kejarku
“kecuali manusia yang melindungiku ini bersedia mengantarkan aku ke tempatmu”
Kami terdiam. Tak ada suara kembali.
Itulah kami. Aku si Darky, Legam, dan Hitam, adalah bagian dari kegelapan maha dasyat pada takdirnya. Namun menjadi lemah dan terpecah menjadi serpihan kegelapan kecil yang mereka sebut bayangan. Tubuh kami gelap menghitam. Dunia kami adalah malam hari, ketika sang surya menuruni cakrawala untuk kembali ke peraduannya. Saat dimana kami akan bersorak sorai gembira dan bersenandung riang bersama penghuni malam lainnya.
Saat dimana cahaya matahari tak Nampak. Yang ada hanyalah cahaya-cahaya yang berasal dari lampu buatan tangan-tangan manusia. Itu sama sekali tak mengganggu kami, bagaimana pun terangnya cahaya lampu-lampu dengan aneka bentuk dan warna itu, tak kan pernah dapat mengalahkan kami. Karena kami adalah penguasa dunia malam, kegelapan.
“hayo tebak, esok hari cerah atau mendung kelabu?” ujar Hitam
“Mendung kelabuuuu!!!”, jawab kami berbarengan
“huuuuu… ngareeep” cibir Hitam lagi
“lohh..jadi? tanyaku. Hitam kembali terkekeh sembari berlari menghindari lemparanku
Itulah tema-tema kami setiap malam. Tema yang sama setiap malamnya. Kami akan bermain tebak-tebakkan tentang kondisi esok hari, apakah mendung atau akan bersinar dengan cerah. Tentu saja kami selalu berharap hari akan berselimut mendung dan kegelapan, sebab kami tak kan letih berkejaran dengan matahari.
Aku tak menyukai langit yang bersinar cerah, karena itu menyakitiku, menyakiti kami prajurit malam. Langit yang cerah membuat kami harus menyingkir jauh ke dalam hutan, bersembunyi di balik tubuh manusia dan benda apa saja yang dapat melindungi kami.
Aku tak menyukai langit yang bersinar cerah. Karena itu menyakiti tubuhku. Tubuh kami yang legam , gelap dan hitam..
Aku tak menyukai langit cerah dengan warnanya yang indah biru..
“Aku tak suka langit cerah,” gumam hatiku…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar