Mei 05, 2010

Dalam Dekapan Cinta

Persil 1

Dimas Bramantyo…

Kupandangi punggung kokoh yang tengah sibuk dengan pekerjaannya itu. Dua bulan pernikahan kami, namun aku masih belum mampu menyelami dirinya, hidupnya.
“mas..”
“hmmm..” jawabnya tanpa mengalihkan padangannya dari kertas-kertas dihadapannya
“makannya nanti saja setelah ini selesai. Mas harus selesaikan laporan ini segera..” ucapnya sembari mengusap kepalaku, lalu kembali sibuk dengan laptop dihadapannya.

Ah, bukan itu mas. Ucapku dalam hati.

Aku tahu mas Bram seorang pekerja keras. Dia tak kan berhenti sebelum apa yang ia kerjakan dapat ia selesaikan. Tapi, tak adakah sedikit waktu buatku, hanya sedikit.

Beranjak aku meninggalkannya. Setitik air jatuh di pipiku. Segera ku tepis. Ah, manja..


Persil 2

Mas Bram sedang dinas, mengawasi proyek perusahaan. Aku terpekur diam, mengingat kembali pernikahan kami. Sudah dua bulan pernikahan kami dan tiga bulan sejak perkenalan kami. Perkenalan yang singkat, lalu pernikahan terjadi.

Kami memang tak pernah mengenal dengan baik satu sama lain sebelum menikah. Pernikahan kami terjadi atas peranan keluarga besar. Mas bram yang merupakan putera dari sahabat kakekku. Tak banyak pertimbangan yang kami lakukan. Sama-sama siap menikah dengan niat beribadah, berbakti pada orangtua dan menggenapkan separuh dien.

apakah mas Bram mencintaiku?

Berkali-kali kalimat itu berdengung dalam hatiku. Yah, hanya sampai pada ujung tenggorokanku.

Bosan. Kucoba mencari kesibukan dengan melihat-lihat koleksi buku yang ada di ruang kerja mas Bram. Tak ada niat untuk membaca. Sungguh aku bosa, tapi tak tahu apa yang hendak kulakukan. Bergantian kubuka satu demi satu buku yang tersusun rapi.

Mataku tertumbuk pada sebuah amplop putih yang terselip di antara buku-buku. Sejenak kupandangi dan perlahan ku buka. Selembar foto di dalamnya membuatku terpaku.


Persil 3


”apakah mas Bram mencintaiku..?”
Akhirnya kalimat itu meluncur dari bibirku

Dengan ekor mataku, aku meliriknya. Mas bram hanya diam. Sedetik kemudian ia tersenyum seraya mengacak-acak rambutku.

”tentu saja. Kamu istriku. Yuk, ke depan..” Jawabnya seraya merengkuh lenganku menuju teras, tanpa menghiraukanku yang hendak bertanya kembali.


Persil 4


”mas,..”
”pernah mencintai orang lain sebelum menikah denganku?”
Tanyaku lagi di suatu waktu
”hmmm...kenapa?”
Kuangsurkan sebuah amplop putih padanya. Amplop putih yang membuatku menangis bila memandanginya.

“Nay..” ucap Mas Bram tertahan..

Aku diam tertunduk, menahan airmataku yang hendak tumpah dari kelopaknya. Tak ada suara. Hening. Tak tahan dengan sesak, aku beranjak meninggalkan mas Bram.

”Nay..” panggil mas Bram seraya mengetuk pintu kamar mandi

Aku menangis terisak. Ternyata mas bram tak pernah mencintaiku. Dia mencintai wanita lain, dan masih mencintainya. Indah, nama wanita cantik dalam amplop itu. Betapa mas bram masih mengingatnya dengan menyimpan rapi fotonya.

”Namanya Indah. Kami teman satu jurusan dan bersahabat hingga saat ini. Ia wanita yang cantik, cerdas, dan periang.”
Aku tergugu pilu mendengar mas Bram bercerita. Iya, wanita itu memang cantik. Sangat.
”Aku menyukai kepribadiannya. Bahkan sempat ada rencana kami akan bersama”
”tapi..”, Mas Bram terdiam

”Nay...entah apa itu cinta. Aku tak mengerti dan tak ingin terlalu memikirkannya. Mungkin aku mencintainya. Entahlah..”
Perlahan mas Bram merengkuh bahuku. Aku biarkan dengan diam.
”tapi..yang aku tau. Engkaulah cintaku. Kewajibanku dengan mengangkat sumpah atas nama Alloh denganmu, pilihan hidupku, dan sahabat jiwaku hingga nanti aku tua”
Kami duduk bersandar pada dinding dapur dengan diam. Aku tak tahu harus berkata apa.
Kurasakan tangannya yang kokoh mengusap kepalaku. Tak ada yang bersuara.

”Nay..cinta adalah kesiapan untuk mengambil amanah dan bertanggungjawab. Dan Nay lah amanah itu”

Hening menyelimuti kami yang terduduk dengan fikiran masing-masing. Perlahan kurasakan hatiku menghangat. Ada sesuatu yang tumbuh dari sudut hatiku. Entah apa itu.

”Nay..”
Mas Bram berkata dengan sedikit terkejut serta memandangiku saat kulepaskan tanganya dari kepalaku.
”Maaf mas,..” ucapku terisak dengan irama yang semakin kencang
Perlahan kurasakan tangan kokoh mas Bram merengkuh kepalaku kedadanya, membuat tangisku semakin pecah. Menyadari betapa bodoh dan kekanakannya diriku selama ini. Betapa aku meragukan dirinya dan sempat berfikir dan menyesali pernikahan ini.

Mas bram merenggangkan pelukannya dan mendongakkan wajahku dengan daguku dengan jari-jarinya..
”hehehehehe...jelek!”, tawanya sembari mengusap airmataku dan menepuk-nepuk pelan kepalaku.
Lama kami saling berpandangan. Melengos aku mengalihkan wajahku yang terasa panas memerah.
”hehehehehe...”, kekeh mas Bram semakin kencang melihatku

Kami tetap berpelukan dengan nada dan irama di hati kami yang perlahan menghangat.

Ah, cinta. Aku tak ingin terlalu memikirkannya. Waktulah yang akan mengajari kami arti cinta yang hakiki. Namun ku mulai mengerti, bahwa cinta akan tumbuh bersama niat dan kesiapan untuk bertanggungjawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar